Selamat Datang di KoPi PaHiT Ku

Sembari mengambil napas, Kasman beristirahat sejenak. Ia memindahkan kardus berisi bahan makanan dari tangan kiri ke tangan kanannya. Sekarang tangan kirinya membawa satu plastik besar berisi sayuran, bahan lauk-pauk, dan berbagai jenis bahan pembuat bumbu lainnya.Buyung, anaknya, kelelahan menjinjing jeriken berisi minyak tanah. Ia berjalan terseok di belakang ayahnya.


Ayah dan anak ini sudah berjalan hampir 5 kilometer dari simpang tiga Padang Alai, tempat terakhir kendaraan bisa menggunakan jalan.
Dari Padang Alai menuju rumah Kasman di Korong atau Dusun Koto Tinggi, jalan tak bisa dilalui kendaraan lagi. Tanah longsor telah memutus jalan tersebut di beberapa titik.Kasman dan Buyung harus berhati-hati karena bekas longsoran tanah juga menghalangi jalan yang belum terputus. Sisa hujan membuat tanah bekas longsoran juga sangat licin.Bila tak hati-hati, jurang di sisi jalan bisa membuat mereka meregang nyawa. Bukan oleh gempa, tetapi tergelincir ke dalam jurang dengan kedalaman 100 meter lebih.
Sudah dua hari terakhir Kasman bersama Buyung rutin berjalan kaki melalui rute Padang Alai-Koto Tinggi yang berjarak sekitar 10 kilometer. Meski memiliki sepeda motor, Kasman tak mungkin bisa menggunakannya lagi untuk berbelanja berbagai barang yang dijual di warung kecil di depan rumahnya. Putusnya jalan dan timbunan tanah longsor membuat ia bersama anaknya harus rela berpeluh mengisi kebutuhan di warung kecilnya.”Tak mungkin kami harus terus berpangku tangan menunggu bantuan. Sebagian memang barang belanjaan untuk keperluan sehari-hari, sisanya untuk bahan berjualan kecil-kecilan kami,” ujar Kasman.
Jauh dari rumah Kasman di Koto Tinggi, situasinya justru sangat kontras. Perjalanan dari Kota Pariaman menuju Padang Alai relatif mulus meski tetap harus berhati-hati karena retakan jalan akibat gempa membuat sebagian jalan ikut longsor. Sepanjang jalan, anak-anak mulai usia tiga tahun hingga para pemuda membawa kardus bertuliskan ”mohon bantuan” kepada setiap pengendara yang lewat. Pemandangan ini tersaji hampir di seluruh sudut Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Ada pula sekelompok pemuda yang menunggu di retakan jalan dan memandu pengendara mobil agar tidak melewati lubang retakan jalan. Mereka berharap belas kasih dari pengemudi yang mereka pandu menghindari retakan jalan.Mereka yang menunggu bantuan memang tak bisa disalahkan karena lambannya bantuan datang, terutama ke pelosok Kabupaten Padang Pariaman, tempat dampak gempa Sumatera paling parah terjadi. Bahkan, di Koto Tinggi, bantuan baru datang hari Minggu (4/10).
Masyarakat yang sebagian besar bertani tak bisa lagi mengerjakan sawah mereka yang hancur karena tanah longsor. Kayu manis yang telah bertahun-tahun menjadi sumber penghasilan warga di punggung Gunung Singgalang tak lagi diambil para pengumpul dari Padang.”Sudah tak ada lagi yang membeli kayu manis kami. Terpaksa kami biarkan begitu saja di depan rumah. Kami masih menunggu bantuan secepatnya datang. Apalagi jalan ke desa kami terputus dari mana-mana,” ujar Zul Effendi, pemuda di Dusun Koto Tinggi.Namun, meski sebagian besar warga masih berharap uluran tangan membantu penderitaan mereka, ada juga korban gempa seperti Kasman yang tak mau berpangku tangan menunggu bantuan datang.
Kasman tak dilenakan oleh penderitaan mahahebat yang menimpa keluarga dan tetangga-tetangganya. ”Allah tak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuan. Saya masih mampu bekerja meski rumah saya hancur akibat gempa,” ujarnya.
Kasman tak sendiri. Tak jauh dari Padang Alai, Nasarudin setiap pagi hingga sore memarkir sepeda motornya di dekat Pasar Kecamatan Lima Koto Timur. Sejak gempa mengguncang, Nasarudin kehilangan sementara pekerjaannya. Sebagai sopir angkot yang melayani rute Padang Alai-Pariaman, Nasarudin tak bisa bekerja. Pemilik angkot untuk sementara tak mengoperasikan mobilnya.
”Biasanya memang ada angkot untuk rute Padang Alai-Pariaman. Tetapi, sejak gempa, angkot tak lagi jalan sampai sekarang,” kata Nasarudin.
Berhenti sementara menjadi sopir angkot berarti Fitriani, istrinya, dan ketiga anak mereka, Risko (1), Riska (6), dan Rizki (10), bisa tak makan. Nasarudin menjadi tulang punggung keluarga selama ini. ”Dari mana kebutuhan sekolah anak terpenuhi kalau saya tak bekerja. Tak apa-apa saya jadi tukang ojek sementara ini. Anak dan istri harus tetap hidup,” ujarnya.
Seperti Kasman, Nasarudin juga kehilangan rumah karena hancur diguncang gempa. ”Hilang rezeki dari Allah jika kami tak bekerja,” kata Nasarudin.
Penghasilan sebagai tukang ojek memang tak tentu. Terkadang hanya Rp 40.000 sehari. Namun, jika beruntung, ia bisa membawa pulang Rp 60.000 sehari. ”Yang penting, kami bisa melanjutkan hidup,” ucapnya.
sumber : http://www.kompas.com/

0 Responses

Posting Komentar

Hit Counter :
KopiPahitKu